Regulasi Ada, Implementasi Menanti: Mampukah Kita Menuntaskan Bullying di Sekolah? - Prakata.com | Kata-kata Dalam Berita
tRbFFwIJXCPvDkjdZ6hw7BrVzKSmv3z6tIDMFXHn
Bookmark

Regulasi Ada, Implementasi Menanti: Mampukah Kita Menuntaskan Bullying di Sekolah?

Ketua Lembaga Sertifikasi Person Pilar Pendidikan dan Pelatihan Indonesia, R. Iwan Rahmat Leksonoputra, S.E., M.M.
Oleh: R. Iwan Rahmat Leksonoputra, S.E., M.M.
Ketua Lembaga Sertifikasi Person Pilar Pendidikan dan Pelatihan Indonesia

Fenomena bullying atau perundungan di lingkungan pendidikan Indonesia bagai lingkaran setan yang tak kunjung putus. Setiap kali kasusnya mencuat ke permukaan, reaksi kolektif kita sering kali berhenti pada kemarahan, keprihatinan, dan tuntutan hukum. Padahal, akar persoalannya jauh lebih dalam dari sekadar ketiadaan aturan. Kerangka hukum untuk memerangi bullying sebenarnya telah ada, namun yang masih menjadi pekerjaan rumah besar adalah efektivitas implementasinya di lapangan.

Secara regulasi, kita tidak buta arah. Landasan hukum sudah tersedia, mulai dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menekankan penciptaan lingkungan belajar yang aman, hingga Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang dengan tegas, khususnya dalam Pasal 76C, melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Bahkan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan telah melengkapi dengan Peraturan Menteri (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 yang secara rinci mengatur Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Wacana untuk memasukkan bab khusus tentang pencegahan bullying dalam revisi UU Sisdiknas yang sedang digodok juga patut diapresiasi sebagai bentuk penguatan.

Namun, pertanyaan kritisnya adalah: sejauh mana tumpukan regulasi ini hidup dan bernafas di ruang-ruang kelas, lorong sekolah, dan halaman tempat bermain? Di sinilah letak tantangan sebenarnya. Sisdiknas telah menempatkan sekolah sebagai ujung tombak dengan sejumlah peran strategis. Pendidikan karakter yang diagungkan sebagai solusi preventif, misalnya, sering kali terjerumus pada pendekatan textbook dan sekadar memenuhi tuntutan kurikulum, alih-alih menjadi nilai yang menginternalisasi dalam setiap interaksi sosial siswa. Menciptakan lingkungan yang aman juga kerap dimaknai secara fisik, sementara keamanan psikologis, di mana siswa merasa nyaman melapor tanpa takut dianggap "pengecut", sering terabaikan.

Pembentukan Satuan Tugas Anti-Bullying di setiap sekolah, sebagaimana diamanatkan Permendikbudristek 46/2023, adalah langkah maju. Namun, tanpa kapasitas dan komitmen yang memadai, satgas ini berisiko menjadi sekadar struktur formal tanpa roh. Pelatihan guru dan staf pun kerap bersifat seremonial, tanpa pendalaman psikologis yang memadai untuk memahami dinamika bullying yang kompleks, termasuk peran bystander (saksi) dan dampak trauma jangka panjang pada korban.

Yang tak kalah penting adalah kolaborasi dengan orang tua. Program parenting yang selama ini ada sering bersifat insidental dan tidak membangun pemahaman yang sama. Banyak orang tua yang masih menganggap bullying sebagai bagian dari proses "pendewasaan" atau sekadar "keisengan" anak, tanpa menyadari bahwa itu adalah bentuk kekerasan yang dapat melukai jiwa.

Oleh karena itu, upaya kita tidak boleh berhenti pada penguatan regulasi di tingkat makro. Kita perlu memastikan tiga hal mendasar. Pertama, komitmen dan akuntabilitas kepala sekolah. Kepemimpinan sekolah yang kuat dan berperspektif hak anak adalah kunci untuk menggerakkan seluruh ekosistem sekolah memerangi bullying. Kedua, pendekatan yang lebih humanis dan restoratif. Alih-alih hanya menghukum pelaku, proses penanganan harus mampu memulihkan korban dan merehabilitasi pelaku, dengan melibatkan konselor profesional. Ketiga, membangun mekanisme pelaporan yang mudah diakses, aman, dan responsif. Siswa, orang tua, dan guru harus yakin bahwa setiap laporan akan ditindaklanjuti dengan serius dan adil.

Pada akhirnya, Sisdiknas dengan segala perangkatnya telah menyediakan peta. Namun, navigasi di lapangan membutuhkan lebih dari sekadar peta yang bagus. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah, kepemimpinan edukatif dari setiap kepala sekolah, kapasitas guru yang mumpuni, serta kesadaran kolektif seluruh masyarakat bahwa bullying adalah musuh bersama yang merong-rong masa depan bangsa. Regulasi tanpa implementasi yang membumi hanyalah pepesan kosong. Saatnya kita bergerak dari "ada aturan" menuju "aturan bekerja" untuk melindungi masa depan anak-anak Indonesia. (*)