![]() |
Heru Budi Wasesa, SE., M.Si. Han. |
Dari Ruang Rapat BPUPKI ke Medan Perang Kontemporer
Sejarah lahirnya Pancasila pada 1945 menunjukkan bahwa ia adalah hasil pergulatan pemikiran yang sangat mendalam dari para pendiri bangsa. Bung Karno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, dan lain-lainnya tidak sekadar merumuskan kalimat indah, tetapi membangun sebuah filsafat negara (staatsidee) yang inklusif, lentur, namun berprinsip. Pancasila dirancang sebagai "rumah bersama" bagi seluruh rakyat Indonesia yang majemuk. Ia adalah kompromi yang brilian, bukan doktrin yang kaku.
Namun, perjalanan sejarah menunjukkan Pancasila pernah direduksi menjadi alat legitimasi kekuasaan Orde Baru. Pancasila dijadikan program indoktrinasi melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), di mana rakyat diwajibkan menghafal butir-butir pengamalannya. Pada masa ini, Pancasila kehilangan ruhnya sebagai nilai yang hidup (living values) dan berubah menjadi mantra yang wajib diucapkan. Esensi "mengamalkan" tenggelam oleh kewajiban "menghafal".
Tantangan Implementasi di Era 2025: Mengapa Sekarang Lebih Penting Dari Sebelumnya?
Tahun 2025 adalah puncak dari banyak tren global yang mengancam kohesi sosial. Pancasila, jika diamalkan, justru menjadi tameng dan pedoman untuk navigasi di tengah badai disrupsi.
- Disrupsi Digital dan Etika: Ekosistem digital di Indonesia masih diwarnai oleh hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi. Sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," menuntut kita untuk menerapkan etika dan empati di ruang digital. Mengamalkan Pancasila berarti menjadi warga digital yang beradab, yang tidak menyebar kebencian atas nama kebebasan berekspresi.
- Ancaman Radikalisme dan Intoleransi: Paham radikal yang menawarkan kebenaran tunggal dan kelompok lain adalah antitesis dari Sila pertama dan ketiga, "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang mengedepankan toleransi, dan "Persatuan Indonesia." Pengamalan Pancasila adalah dengan aktif membangun dialog antaragama, menolak narasi sektarian, dan memperkuat rasa kebangsaan yang inklusif.
- Kesenjangan Ekonomi dan Keadilan Sosial: Sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," adalah kritik dan cita-cita yang belum sepenuhnya terwujud. Di era ekonomi digital yang rentan memusatkan kekayaan, pengamalan Pancasila menuntut kebijakan ekonomi inklusif, pemberantasan korupsi, dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir orang.
- Globalisasi dan Identitas Kebangsaan: Di tengah arus globalisasi, Pancasila adalah penanda identitas kita. Ia bukan berarti menutup diri, tetapi menjadi filter untuk memilih dan memilah nilai-nilai global yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, sebagaimana tercermin dalam Sila keempat yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat, bukan sekadar suara mayoritas.
Pancasila dalam Aksi: Dari Teks ke Konteks
Lalu, bagaimana mengubah Pancasila dari hafalan menjadi amalan?
- Dalam Kebijakan Pemerintah: Setiap kebijakan publik, dari tingkat desa hingga pusat, harus melalui "uji saring" nilai-nilai Pancasila. Apakah kebijakan ini memanusiakan? Apakah mempersatukan? Apakah adil? Ini memerlukan alat ukur (Pancasila Impact Assessment) yang konkret.
- Dalam Dunia Pendidikan: Pendidikan Pancasila harus bertransformasi dari model ceramah dan hafalan menjadi pendidikan yang berbasis proyek (project-based learning). Siswa diajak untuk mengidentifikasi masalah di komunitasnya (misalnya, sampah atau bullying) dan mencari solusi dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
- Dalam Dunia Usaha: Korporat harus menginternalisasi Pancasila dalam model bisnisnya melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang autentik, praktik bisnis yang beretika, dan penghormatan terhadap hak pekerja dan lingkungan. Ekonomi Kerakyatan harus menjadi jiwa dari ekonomi digital.
- Dalam Kehidupan Sehari-hari: Mengamalkan Pancasila bisa dimulai dari hal sederhana: tidak menyebar hoaks (Sila 1 & 2), menghormati tetangga yang berbeda keyakinan (Sila 1 & 3), aktif dalam musyawarah RT (Sila 4), dan menolak perilaku koruptif sekecil apa pun (Sila 5).
Menjadi Sakti dengan Mengamalkan
Kesaktian Pancasila di tahun 2025 tidak lagi diukur dari kemampuannya bertahan dari pemberontakan fisik, seperti pada 1965, tetapi dari ketangguhannya menghadapi pemberontakan nilai-nilai egoisme, intoleransi, ketidakadilan, dan kebencian. Pancasila akan tetap sakti jika ia hidup dalam tindakan nyata setiap insan Indonesia. Sebagai alumni Universitas Pertahanan RI, saya meyakini bahwa pertahanan negara yang paling tangguh bukan hanya terletak pada kekuatan militer, tetapi pada kokohnya karakter bangsa yang berlandaskan Pancasila. Mari kita jadikan peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2025 sebagai momentum untuk beralih dari budaya menghafal kepada gerakan bersama untuk mengamalkan. Karena hanya dengan pengamalan nyata, kesaktian Pancasila akan benar-benar abadi.