![]() |
Anies Baswedan. |
Oleh: Yusuf Blegur
SETELAH era Mohammad Natsir, Agus Salim, Buya Hamka, dan lainnya, Indonesia kini sulit—bahkan terbilang langka—menemukan pemimpin sekaligus ulama yang berwatak kerakyatan, kebangsaan, dan kesungguhan dalam mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apakah figur Anies Baswedan menjadi pengecualian? Jawabannya terletak pada rekam jejaknya.
Anies Baswedan adalah pemimpin yang paling sering menerima fitnah, upaya kriminalisasi, dan ancaman terhadap eksistensi serta keselamatannya. Meski demikian, Anies tidak sedikit pun reaktif, mengeluh, apalagi emosional.
Pendidikan dan pengalamannya membentuk pribadi yang tetap santun, beretika, dan mengedepankan akhlakul karimah, betapapun upaya penghinaan, perendahan, dan pengganjalan terhadap kepemimpinannya datang bertubi-tubi.
Sebagai anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga akademis dan akrab dengan dunia kepemimpinan, Anies Baswedan mungkin menyadari bahwa ia terpanggil dan tertantang untuk memasuki ranah politik, birokrasi, serta tugas-tugas kebangsaan lainnya. Termasuk kesadarannya yang mendalam akan situasi Indonesia yang kini berada dalam kondisi akut dan kritis.
Dalam perspektif ideologi dan politik kebangsaan, Anies dituntut tidak hanya sekadar berkontribusi, melainkan juga bertanggung jawab, berdedikasi, dan setia kepada rakyat, negara, dan bangsa Indonesia—khususnya dalam menghadapi penyimpangan nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan dalam proses bernegara.
Sekularisme telah berhasil memisahkan agama dan negara. Namun, tidak semua pemimpin—termasuk presiden—bisa dipaksa memisahkan diri dari keyakinan dan penerapan ajaran agamanya. Hal ini juga berlaku bagi Anies, yang terpapar realitas politik namun mampu merespons dengan bijak, menciptakan keseimbangan antara nilai-nilai rasional-material dan spiritual.
Pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025), Anies Baswedan didaulat menjadi khatib shalat Idul Adha di Masjid Agung Al-Azhar, yang historis dan ikonik di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebuah momen sekaligus tugas yang penuh makna dan menyentuh bagi Anies. Mengapa demikian? Karena perayaan Idul Adha memberinya kesempatan menyampaikan pesan sosial dan spiritual yang relevan—bahkan urgensi—dengan kondisi umat dan bangsa Indonesia saat ini.
Anies menegaskan bahwa di tengah distorsi kebijakan negara oleh para pemangku kepentingan, pesan Idul Adha sejatinya harus menjadi tonggak transformasi fundamental bagi rakyat, negara, dan bangsa. Idul Adha bukan sekadar menyembelih hewan kurban sebagai simbol pengendalian hawa nafsu, melainkan juga mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan di samping kewajiban ilahiah.
Idul Adha harus dimaknai tidak hanya sebagai nilai dan semangat, tetapi juga diwujudkan dalam kesadaran kritis dan implementasi melalui gerakan politik dan sosial. Kesewenang-wenangan dan ketimpangan yang merasuki sistem—dan ironisnya dipraktikkan banyak politisi dan birokrat—bukan hanya merusak, melainkan juga mengancam peradaban. Dunia akan menjadi ruang bagi manusia yang hanya menuruti syahwat dan kesenangan semata.
Jarak antara nilai-nilai agama dan praktik bernegara hanya akan melahirkan pola hidup destruktif, yang lambat laun menjadi kebohongan, kepalsuan, dan akhirnya kejahatan terstruktur. Ini ibarat pandemi yang membunuh kesadaran Ketuhanan dan kemanusiaan—terlebih jika dilakukan oleh pemimpin. Sungguh sebuah bencana peradaban.
Hanya kesalehan sosial yang membumi dan transendental yang dapat menghidupkan ketakwaan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Sulit mengharapkan keramahan Tuhan tanpa kedekatan dan kehangatan kepada sesama—inilah salah satu esensi Idul Adha.
Pemimpin Agama sekaligus Pemimpin Negara
Aparatur negara seharusnya mampu menghadirkan kemaslahatan dan keadilan sosial bagi semua, bukan menjadi alat kekuasaan yang kontradiktif terhadap kebenaran dan kejujuran—apalagi bersanding dengan kejahatan dan kemunafikan.
Anies Baswedan adalah fenomena pemimpin yang berjuang melawan kegelapan zaman modern. Selain menghadapi arus kapitalisme dan imperialisme, sebagai intelektual, birokrat, politisi, sekaligus ulama, ia juga melawan sekularisasi dan liberalisasi.
Anies menjadi literasi paling aktual ketika konstitusi dan demokrasi dimanipulasi untuk menggagalkan pemimpin yang lahir dari rakyat. Pemilu formal yang dirancang oleh borjuasi politik dan ekonomi melahirkan kepemimpinan nasional yang perlahan menjerumuskan negara menjadi gagal—tanpa kesejahteraan, keadilan, atau kesetaraan.
Pilpres 2024 mungkin dimenangi dengan kekuasaan korup dan tirani, tetapi konspirasi kejahatan demokrasi tidak mampu membunuh pemimpin yang berlindung pada kebenaran Tuhan. Rakyat yang tertindas akan melahirkan pemimpinnya sendiri—bukan boneka oligarki. Dari rahim rakyat akan muncul gen pemimpin: intelektual, ulama, dan pejuang yang hidup dan mati untuk rakyat.
Anies telah melalui proses panjang dan ujian berliku untuk mematangkan karakter kepemimpinannya. Gelombang fitnah dan kriminalisasi berhasil ia hadapi tanpa kehilangan adab dan akhlak. Ia tidak hanya mengedepankan etika dan hukum, tetapi juga menyelesaikan masalah sosial-politik dan ekonomi dengan pendekatan logis, humanis, dan religius.
Seiring waktu, rakyat mulai memahami siapa pemimpin sejati. Data dan fakta berbicara: Anies adalah pemimpin tanpa batas yang menjadi teladan meskipun konstitusi dan demokrasi tak kuasa menahbiskannya.
Akan tiba masa ketika Anies Baswedan tak lagi bisa dibendung untuk memegang mandat presiden. Tak ada lagi ruang untuk menyerah melawan kezaliman—baik dari asing maupun bangsa sendiri. Indonesia bukan bangsa budak atau santapan kapitalis dan imperialis. Republik ini lahir dari keringat, darah, dan nyawa para ulama, rakyat, dan pejuang.
Keselamatan Indonesia hanya mungkin dengan patriotisme, nasionalisme, dan religiusitas sebagai fondasi kebangsaan. Lebih dari itu, NKRI butuh pemimpin dengan keterampilan dan moral tinggi—penuh kasih sayang, bijaksana, sekaligus tegas.
Rakyat butuh pemimpin multitalenta, estetis, dan bernas yang berprinsip pada nasionalisme religius dan religiusitas nasional. Indonesia darurat membutuhkan ulama yang pemimpin dan pemimpin yang ulama. Sulit menemukan figur seperti itu pasca-M. Natsir, Buya Hamka, Hatta, atau Tan Malaka.
Kini, di tengah wabah kerusakan moral dan syahwat kekuasaan, Anies hadir sebagai anomali dari sistem yang rusak. Mungkinkah pemimpin sejati yang amanah akan datang? Selama negeri ini dilanda kejahatan, hanya Anies yang bertahan sebagai pemimpin berkeadaban. Ia memenuhi semua kriteria. Anies Baswedan: Sang Khatib, Sang Presiden.
Bekasi Kota Patriot
15 Dzulhijjah 1446 H / 11 Juni 2025
Ikuti Berita Terbaru di WhatsApp Channel