![]() |
Moralitas dalam Selembar Ijazah. Foto: Ilustrasi/Prakata.com. |
Oleh: Yusuf Blegur
PENDIDIKAN dan pekerjaan tidak identik dengan persoalan rezeki. Pendidikan harus dilihat dan dimaknai sebagai tanggung jawab dan martabat seseorang di hadapan Tuhan.
Sebenarnya, pendidikan dan pekerjaan tidak selalu berkorelasi dengan status sosial seseorang. Semua hal bernilai materi, baik kekayaan maupun jabatan yang melekat pada diri seseorang, tidak selalu linear dengan pendidikannya.
Setidaknya, kaya atau miskin, menjadi elit dan terhormat atau kelas bawah, bahkan orang baik atau jahat sekalipun tidak memiliki keterkaitan yang kuat dan mengikat dengan pendidikan yang dimilikinya.
Mengapa pendidikan tidak ada hubungannya dengan rezeki atau kepemilikan harta? Mengapa pula pendidikan tidak harus menjadi faktor utama dalam menentukan perilaku (behavior) seseorang?
Jawabannya sederhana.
Pertama,
Pendidikan pada substansinya ditujukan untuk membentuk pola pikir seseorang agar dapat memahami kehidupan, baik dalam konteks sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun nilai-nilai spiritual.
Kedua,
Ada arah dan tolok ukur capaian pendidikan seseorang dalam manifestasi berbagi kemaslahatan, baik dalam hubungan antarsesama, dengan alam semesta, maupun puncaknya pada relasi ilahiah.
Sering kali menjadi kebiasaan bahwa penyimpangan perilaku justru bersumber dari kalangan terdidik. Bahkan, dengan gelar mentereng seperti magister, doktor, atau profesor, mereka menjadi perencana, penggerak, dan pelaksana berbagai tindakan destruktif, seperti kebohongan, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, serta kejahatan korupsi yang fenomenal dan klasik. Terkadang, tak luput pula penistaan terhadap agama, para nabi, dan rasul, yang juga membuktikan kebencian dan fitnah yang kerap lahir dari perilaku kalangan intelektual.
Tidak sampai pada tindakan kejahatan ekstrem, banyak orang berpendidikan tinggi yang dijuluki sebagai "intelektual angkuh" atau "intelektual pelacur". Terlalu banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi, tetapi dalam keseharian bersikap eksklusif, mengumbar pertentangan kelas, atau bahkan menganut paham antisosial.
Di tengah disparitas yang mencolok dalam praktik kesetaraan di setiap lapisan masyarakat, justru kalangan terdidik acap kali abai terhadap kesadaran kritis dan makna kehidupan. Hal ini membuat semua penyimpangan menjadi terbiasa dan serba permisif.
Hasilnya memang sangat memprihatinkan, jika tidak ingin disebut mengerikan. Pengingkaran terhadap nilai-nilai kejujuran dan kebenaran justru diyakini dan dijalankan seolah-olah sebagai praktik kejujuran dan kebenaran. Perilaku menyimpang yang didukung sistem perlahan-lahan berhasil membentuk budaya dan tradisi yang bertentangan dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Prinsip-prinsip kejujuran, kebenaran, dan keadilan berangsur-angsur menjadi absurd. Semakin sulit menemukan value (nilai) dan wisdom (kebijaksanaan) dalam pikiran dan tindakan seseorang, meskipun dirinya dipenuhi kemewahan intelektual. "Intelektual pelacur", "intelektual penjahat", dan "intelektual munafik" kini menggejala dan menjadi wabah pandemi yang menyerang kaum terdidik.
Dalam situasi melemahnya penggunaan akal dan nurani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya kaum terdidik menjadi avant-garde yang memobilisasi pemikiran pembebasan dan tindakan pencerahan untuk membangkitkan kesadaran—tujuan menghidupkan manusia yang memanusiakan manusia.
Ruang publik, baik dalam lingkup sistem sosial maupun ranah pribadi, sudah seharusnya mampu menyelenggarakan kehidupan yang selaras, harmonis, dan beradab sebagai warisan (legacy) pendidikan. Mewujudkan kehidupan universal tanpa eksploitasi manusia atas manusia atau bangsa atas bangsa sesungguhnya bisa lahir dari proses dan tujuan pendidikan. Sikap simpati, empati, dan peduli terhadap sesama serta lingkungan hidup akan terus memancar dari cahaya pendidikan yang terbebas dari belenggu feodalisme dan kapitalisme.
Ijazah dan Kehormatan Seseorang
Ijazah, baik asli maupun palsu, bukan sekadar soal legalitas dan legitimasi sosial. Pengakuan terhadap proses pendidikan harus dilihat sebagai kehormatan bagi setiap individu yang bernilai dan berharga dalam mengemban tugas kemanusiaan. Terlebih jika ijazah dimiliki oleh seorang pemimpin, maka tugas dan konsekuensinya pastilah jauh lebih besar dan mulia.
Ijazah pendidikan juga menjadi refleksi dan cerminan akhlak serta kesalehan sosial bagi siapa pun yang menyandangnya. Ia bukan sekadar angka atau bilangan yang menandai kelulusan.
Ijazah pendidikan yang dimiliki seseorang dapat dimaknai sebagai surat perintah kerja (SPK) atau instruksi untuk menyerukan dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secepat mungkin.
Kaum terdidik seyogyanya menjadi barisan intelektual pejuang dan pejuang intelektual. Ada pesan suci yang tersembunyi dalam ijazah seseorang agar dapat mengejawantahkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan bagi semua tanpa sekat-sekat sosial apa pun, di mana pun, dan kapan pun berada serta bertumbuh.
Pada akhirnya, semua orang dituntut untuk memaknai dan melaksanakan apa yang menjadi amanat pendidikan itu. Pendidikan yang pada dasarnya harus mampu menghidupkan manusia dengan akal dan pikiran yang sehat, serta hati dan nurani yang kuat dan bijak.
Pendidikan yang sejati harus menjadi sarana pembebasan dari hawa nafsu dan keserakahan—baik pada diri seseorang, kelompok, maupun golongannya sendiri. Bukan sekadar pendidikan yang bertujuan mengejar kekayaan, jabatan, atau kekuasaan yang menindas.
Demikianlah fundamental pendidikan didesain dan dibangun; ada misi suci yang diembannya. Bagi kalangan terdidik dan para intelektual, segeralah menyadari bahwa terdapat moralitas dalam selembar ijazah yang diperjuangkan bertahun-tahun itu.
Bekasi, Kota Patriot
29 Dzulqaidah 1446 H / 27 Mei 2025
Ikuti Berita Terbaru di WhatsApp Channel