Ketua Bawaslu Kota Bekasi Vidya Nurrul Fathia (kanan), Akademisi dari Universitas Pasundan Bandung Fahmy Iss Wahyudi (tengah), dan Ketua KPU Kota Bekasi Ali Syaifa AS (kiri). |
Dalam
pemaparannya, Fahmy sempat mempertanyakan terkait tingkat partisipasi dalam
pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Dimana hampir di setiap daerah di Indonesia
memang mengalami penurunan tingkat partisipasi.
“Tapi untuk
tingkat partisipasi ini tidak fair jika langsung dijustifikasi soal kinerja
(KPU), apalagi sekarang malah muncul wacana baru mengenai Pilkada yang akan
dikembalikan ke DPRD kewenangannya,” kata Fahmy.
Menurutnya, kesimpulan
menurunnya tingkat partisipasi masyarakat terlalu prematur. Pasalnya, belum ada
evaluasi yang bersifat komprehensif dan objektif mengenai apa penyebab
menurunnya tingkat partisipasi dalam Pilkada Serentak 2024.
Oleh karena itu,
ia mengajak audiens untuk melihat kembali perjalanan demokrasi sejak masa orde
baru sebelum bergulirnya reformasi ’98. Fahmy menilai, secara konseptual
partisipasi politik yang naik
atau menurun tidak
hanya diakibatkan oleh salah satu faktor saja.
“Belum
lagi misalnya ada kajian akademik dengan standar yang tepat, tapi tiba-tiba sudah disimpulkan hasilnya
seperti apa, itu barang kali
yang saya khawatir dan jadi kesimpulan mendahului proses evaluasi sendiri,” ujarnya.
Fahmy memandang
kejenuhan masyarakat dalam tahapan Pemilu 2024 juga bisa saja terjadi, karena
peristiwa politik tidak saja terjadi secara seremonial pada 14 Februari dan 27
November lalu. Persiapan kampanye dan tahapan pesta demokrasi yang terjadi
secara terus menerus bisa menjadi faktor yang menyebabkan kejenuhan di
masyarakat.
“Tadi Mas
Ali (Ketua KPU Kota Bkeasi) sebetulnya
punya hipotesis bahwa partisipasi politik itu turun karena kejenuhan masyarakat. Bayangkan dalam satu tahun
misalnya harus menghadapi banyak sekali peristiwa politik,” sambungnya. (Gud)