Zoom meeting pembahasan perjalanan Indonesia menuju Ending AIDS 2030. |
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Kemenkes RI, dr. Imran Pambudi menyampaikan bahwa saat ini kelompok berusia
25-49 tahun memiliki porsi terbesar sebanyak 70,4% dalam temuan kasus HIV.
Angka ini kemudian diikuti oleh kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 15,9%1.
“Meski demikian, semakin menurunnya angka temuan kasus HIV
baru pada beberapa tahun terakhir, menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia mungkin
mencapai target. Berbagai upaya untuk menyamakan persepsi dan tujuan telah
dilakukan termasuk melibatkan peran berbagai sektor pemerintah,” ujarnya,
Selasa (26/3/2024).
Kendati demikian, kerap ditemukan pemahaman atau “perspektif
miring” yang keliru dari stakeholder di luar area kesehatan tentang HIV. Hal
ini disinyalir terjadi karena program penanggulangan HIV selama ini hanya
menyasar pada pengguna narkotika, pekerja seks, Lelaki Seks Lelaki, Waria dan
kelompok lainnya yang masih dianggap amoral bagi sebagian masyarakat. Sehingga
mengentalkan nuansa stigma dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok sasaran
ini dalam program program-program HIV di Indonesia.
Kasus HIV ditemukan pertama kali pada 1960 di Afrika dan
diumumkan ke publik di Amerika pada 1981 hingga ditemukan pertama di Indonesia
(Bali) pada 1987. Penanganan HIV selalu dimunculkan dengan wajah diskriminasi.
Hal ini sebagai akibat dari cap buruk (stigma) terhadap perilaku yang
menimbulkan resiko penularan HIV.
Dalam sebuah survei yang melibatkan Mahasiswa Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia dari 10 responden yang
diwawancarai, 4 diantaranya mengaku masih takut untuk bergaul dengan orang yang
hidup dengan HIV karena alasan takut tertular. Padahal mereka sudah mendapatkan
informasi serta pendidikan terkait penyakit menular.
Sejak didirikan pada 2014 hingga saat ini, Jaringan
Indonesia Positif (JIP) telah mendapat pelaporan terjadinya bentuk stigma dan
diskriminasi yang dialami oleh orang yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Menurut Timotius Hadi, selaku Advocacy Specialist
Jaringan Indonesia Positif, beberapa tanggapan telah dilakukan untuk
penyelesaian kasus yang ditemukan meliputi: penyediaan kanal pengaduan, layanan
konseling, pendampingan kasus bagi korban serta melakukan audiensi kepada
stakeholder terkait baik level pemerintah (kementrian atau subdinas) maupun
swasta termasuk mitra dari Komnas Perempuan.
Selama bulan Mei-Oktober 2023, JIP meneliti indeks stigma
dan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV di Indonesia dengan
menggunakan instrumen penelitian global yang disebut dengan ‘Stigma Index 2.0’.
Instrumen penelitian ini dikembangkan oleh beberapa organisasi tingkat global,
seperti Global Network People Living with HIV (GNP+), International
Community of Women Living with HIV (ICW), UNAIDS dan International
Planned Parenthood Federation (IPPF).
Stigma Index telah digunakan secara global guna
mendokumentasikan pengalaman yang berbeda di antara orang dengan HIV terkait
stigma dan diskriminasi, sampai dengan mendorong perubahan kebijakan di suatu
daerah tertentu serta mengubah intervensi program akibat dari stigma atau
diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV. Stigma Index di Indonesia
tahun 2022 mengumpulkan informasi yang beragam mengenai pengalaman orang dengan
HIV di Indonesia yang menghadapi stigma dan diskriminasi.3. Stigma Index 2.0
yang dilakukan oleh JIP berhasil menyasar 1400 orang yang hidup dengan HIV di
16 provinsi sebagai responden.
Menurut Fitriana Puspitarani, Research Officer, Divisi
Riset, Pengembangan Komunitas dan Media JIP, menyampaikan bahwa beberapa
temuan pada penelitian ini antara lain: sebesar 35,9% orang yang hidup dengan
HIV menstigma dirinya sendiri, dan 13,4% orang yang hidup dengan HIV
mendapatkan stigma dari orang lain. Stigma dan diskriminasi juga terjadi di
layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir (21,5%).
Stigma dan diskriminasi pada orang yang hidup dengan HIV
dari kelompok populasi kunci, lebih tinggi dibandingkan kelompok non populasi
kunci, (Stigma eksternal pada kelompok populasi kunci sebesar 17,1% dan non
populasi kunci sebesar 11,1%, stigma internal pada kelompok populasi kunci
sebesar 39,8% dan non populasi kunci sebesar 33,5%, stigma di layanan HIV pada
kelompok populasi kunci sebesar 24,7% dan non populasi kunci sebesar 16,4%,
stigma di layanan non HIV pada kelompok populasi kunci sebesar 22,9% dan non
populasi kunci sebesar 12,1%).
Hasil temuan awal dari penelitian Stigma Index 2.0 Indonesia
telah disampaikan kepada stakeholder terkait, khususnya kepada Kementerian
Kesehatan RI. “Hal tersebut dilakukan dengan harapan bahwa temuan-temuan hasil
Stigma Index 2.0 bisa digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam
menyusun program penanggulangan HIV yang lebih humanis, termasuk kampanye anti
diskriminasi dan memantau berbagai kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia”, katanya.
Harapannya, Indonesia tak hanya mengembangkan strategi untuk
mencapai nol penularan HIV dan nol kematian akibat AIDS, namun juga mencapai
nol diskriminasi terhadap mereka yang hidup dengan HIV. (Gud)