tRbFFwIJXCPvDkjdZ6hw7BrVzKSmv3z6tIDMFXHn
Bookmark

Pidato Kebudayaan di FSM, Sejarawan Bonnie Triyana Jadi Magnet Pengunjung


PRAKATA.COM -  Kehadiran sejarawan nasional, Bonnie Triyana sebagai pembicara dalam Pidato Kebudayaan di  Festival Seni Multatuli (FSM) di Rangkasbitung, Lebak, menjadi magnet bagi warga yang senang mempelajari sejarah, Jumat malam (16/6/2023). 


Jumlah kursi yang disediakan panitia pun tak cukup, karena begitu antusias dan banyaknya pengunjung Festival yang ingin menyaksikan pidato budaya sejarawan kelahiran Rangkasbitung itu.


Nampak dari unsur pemerintahan hadir Wakil Bupati Lebak, Ade Sumardi,  Asisten Daerah Pemkab Lebak, Ajis Suhendi dan Kepala UPT Museum Multatuli.


Selain itu juga ada puluhan mahasiswa dari Universitas Tirtayasa,  yang sengaja datang dari Serang ke Rangkasbitung untuk menyaksikan pemaparan sejarawan Bonnie.


Bonnie Triyana menyampaikan pidato budaya berjudul Sepuluh Warisan Kolonialisme dalam Kehidupan Kita.


Dalam paparannya, Bonnie mengungkap setidaknya ada sepuluh warisan dampak kolonialisme dalam kehidupan sekarang.


Pertama dalam bidang pendidikan, Bonnie menggambarkan bahwa hanya 5 persen masyarakat yang bisa membaca dan menulis huruf latin pada awal kemerdekaan  tahun 1945. Hal ini karena pemerintah kolonial hanya menyediakan pendidikan bagi partikelir dan bangsawan.


"Ada juga pada masa kolonial berdiri sekolah swasta, yang dianggap sekolah liar. Sekolah swasta ini tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial," kata Bonnie.


Lanjut dia, pada masa sekarang, banyak orang tua dari kelas menengah dan atas yang mengirim anaknya sekolah ber  kurikulum Internasional yang fasilitas pendidikannya di atas rata-rata sekolah negeri. 


.
Kedua ada jejak feodalisme. Dia menjelaskan tentang Adipati yang bertugas memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti dari masyarakatnya. Selain itu, jabatan,-jabatan terendah harus memberikan hadiah kepada atasannya agar jabatannya bisa bertahan.


Hal ini memiliki pola yang sama dengan feodalisme gaya baru hari ini.


Ketiga bidang kesehatan. Persoalan kurang gizi dan stunting pada masa kolonialisme juga masih terjadi sekarang ini. 


Keempat diskriminasi sosial. Warisan kolonial ini masih ada seiring dengan masih adanya ujaran kebencian dan labeling pada ras tertentu.


Kelima, trauma pada paham kiri dan kanan. Pada saat pecah perang Jawa, 20 Juli 1825, kata "santri' menjadi kata hinaan  Mereka yang dicurigai memiliki simpati kepada santri (sebutan untuk mereka yang memihak  Pangeran Diponegoro diberi perlakuan khusus.


Hingga saat ini, Islamis masih dipandang sebagai kelompok yang seharusnya tunduk dan tidak patut bersuara.


Keenam, kekerasan yang menjadi resolusi ketika merespon segala hal yang terjadi di status qua.


Saat ini kekerasan masih terus menjadi warisan dan hal yang normal di masyarakat. Kita sering berani menghakimi kasus di masyarakat.


Ketujuh, adalah mitos buruh malas. Kedelapan, adanya stratifikasi sosial yang menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah.


Kesembilan, patriarki dalam politik dan kesepuluh, apartheid dalam pembangunan kota.


Usai Bonnie menutup pidatonya, hadirin kemudian memanfaatkan momen itu berfoto bersama.


Wakil Bupati Lebak juga sempat bertanya jawab dengan mahasiswa Untirta seputar paparan yang disampaikan Bonnie.


Salah satu warga yang turut menyaksikan acara itu hingga selesai, Ace Sumiarsa (40) mengaku mendapat tambahan pengetahuan sejarah.


"Sejarah memang menarik, dan ternyata kejadian sejarah bisa berulang pada masa berikutnya," kata Ace.


Dia berharap, kegiatan serupa bisa semakin sering diadakan. (gud)