![]() |
| Kayu-kayu gelondongan di lokasi bencana Sumatera. |
Oleh: Yusuf Blegur
BENCANA Sumatera telah membuka mata semua anak bangsa dan dunia. Ini bukan soal takdir semata, ini tentang kesadaran krisis dan kesadaran makna.
Banjir dan longsor yang menyelimuti Provinsi Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara tidak sekadar menimbulkan korban jiwa dan harta, tidak hanya penderitaan manusia, makhluk hidup lain juga terancam kepunahan dan kerusakan alam semakin meluas.
Ketiadaan kesadaran bahwa manusia menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem yang menyediakan ruang hidup bagi semua makhluk pada akhirnya hanya memunculkan ego, penyimpangan, dan keserakahan.
Dominasi nafsu berkuasa dan superior membuat tidak sedikit orang merasa tidak cukup berbagi tempat tinggal dan hidup bersama makhluk lainnya. Tradisi lama terus hidup dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme modern yang berasas kapitalisme.
Dahulu dikenal eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, kini lebih variatif dengan eksploitasi manusia atas alam.
Deforestasi demi menumpuk pundi-pundi kekayaan dan penguasaan aset ekonomi seluas-luasnya secara perlahan bukan saja merusak lingkungan, lebih dari itu telah sengaja melakukan genosida pada habitat hewan dan tumbuhan.
Kehancuran komponen biotik dan abiotik dalam kehidupan semesta membutuhkan waktu dan proses pemulihan yang panjang, biaya tinggi, dan kerja keras tak ubahnya seperti membangun peradaban yang baru.
Dalam hal ini, atas tindakan distorsi dan manipulasi alam yang menahun, membuktikan manusia telah menjadi predator paling ganas di muka bumi.
Kekayaan hutan dan segala habitat yang hidup di dalamnya harus tersingkir bahkan lenyap karena ambisi materi. Ekologi dikalahkan oleh ilmu ekonomi yang sarat kepentingan duniawi.
Hutan Indonesia yang berlimpah yang menjaga keseimbangan ekosistem secara nasional dan internasional dieksploitasi dan dijual demi menumpuk harta benda.
Hutan yang sejatinya menjadi penjaga sekaligus harmoni keseimbangan alam bagi bumi dan semua makhluk lainnya disulap menjadi kayu komersial sebagai instrumen impor dan ekspor yang menggiurkan.
Deforestasi berkedok investasi dan pembangunan seperti ingin menata kehidupan dunia, namun seiring sejalan menghancurkan bumi dan semua isinya.
Bencana Sumatera yang melingkupi Provinsi Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara bukan hanya layak ditetapkan sebagai bencana nasional, melainkan telah mewujud menjadi bencana dunia.
Tragedi akibat kejahatan lingkungan, kejahatan kemanusiaan, serta kejahatan peradaban bumi telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang salah dan bangga dengan dosa.
Mirisnya, pemerintah, terutama pejabat dan politisi, sibuk mengklarifikasi bencana Sumatera ketimbang melakukan gerakan cepat dan tanggap darurat menyelamatkan korban, termasuk berdebat dari mana asal-muasal gelondongan kayu yang terseret arus banjir bandang itu. Mereka para pejabat memang gemar mengklarifikasi masalah dibanding memberi kebijakan preventif, kuratif, dan solusi.
Mulai dari Ketua BNPB, menteri, anggota DPR, Ketua MPR, hingga presiden, larut membuat pernyataan pembelaan diri dan argumentasi yang ngawur serta irasional. Logika sesat para pejabat itu lebih pada masa bodoh bahwa paru-paru dunia perlahan mulai menghilang, yang penting bisa ikut menikmati hasil tambang dan hutan serta perut kenyang jangka panjang.
Menutupi konspirasi dan korupsi dari kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif terhadap alam membuat pejabat pemerintah dan korporasi yang terlibat membabi-buta mengklarifikasi tanpa akal dan nurani.
Ada yang bilang gelondongan kayu dalam banjir itu pohon yang sudah lapuk terseret banjir, ada yang bilang kayu itu hasil tebang yang sudah lama, ada juga yang memikul sekarung kecil beras untuk mengganti izin jutaan hektar deforestasi, dan lain sebagainya.
Seperti biasa, rakyat dan khususnya pemerhati lingkungan hanya bisa mengurut dada, menyesali, dan tak berdaya bahkan untuk sekadar meminta pertanggungjawaban perusak hutan.
Tidak ada lagi rasa malu, tidak ada lagi kehormatan. Tidak ada lagi sedikit pun moral dan hukum pada setiap pelaku state organized crime. Ujung-ujungnya, rakyat hanya bisa melihat deforestasi dengan bahasa awam: datang kayu, pergi malu.
Bekasi Kota Patriot.
17 Jumadil Akhir 1447 H / 8 Desember 2025
Ikuti Berita Terbaru di WhatsApp Channel


