![]() |
Juru bicara ahli waris lahan sengketa Pasar Semi Induk Pondokgede, Agustin, memberikan keterangan kepada awak media usai audiensi dengan Komisi II DPRD Kota Bekasi, Kamis (9/10/2025). |
Prakata.com – Para ahli waris lahan sengketa Pasar Semi Induk Pondokgede, Kota Bekasi, melakukan audiensi dengan Komisi II DPRD Kota Bekasi, Kamis (9/10/2025). Mereka mendesak penyelesaian sengketa lahan seluas 4.500 meter persegi di lokasi tersebut. Mereka juga menuntut Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, untuk menyerahkan lahan sesuai putusan pengadilan, yaitu dalam keadaan baik, kosong, bersih, dan tanpa syarat.
Juru Bicara Ahli Waris, Agustin, dalam audiensi tersebut menyatakan bahwa pihaknya telah menerima surat jawaban dari Wali Kota yang menyatakan kesediaan menyerahkan lahan. Namun, surat itu dinilai kontradiktif dengan fakta di lapangan.
"Pertanyaan kami sederhana: menyerahkan lahan. Dan Wali Kota Bekasi sudah menjawab surat kami. Dalam surat itu disebutkan bahwa Pemerintah Kota Bekasi akan menyerahkan lahan tersebut. Namun, kami akan menantang balik Wali Kota Bekasi, Bapak Tri Adhianto, untuk benar-benar menyerahkan lahan itu... sebagaimana bunyi putusan pengadilan," tegas Agustin.
Ia memaparkan bahwa realitas di lapangan justru bertolak belakang dengan janji dalam surat tersebut. Di atas lahan sengketa masih berdiri bangunan pasar yang terkait dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tahun 2020 antara Pemkot Bekasi dan PT Kerta.
"Artinya, tidak mungkin lahan tersebut bisa langsung diserahkan begitu saja," ujarnya.
Agustin menegaskan bahwa tuntutan utama ahli waris bukanlah perusakan aset, melainkan meminta pembayaran lahan agar sah menjadi aset Pemkot Bekasi. Langkah ini, menurutnya, adalah upaya preventif untuk mencegah penyimpangan.
"Kalau pemerintah memilih langkah eksekusi, itu sama saja menimbulkan konflik baru... potensi kerugian negara bisa mencapai sekitar Rp25 miliar, yang pada akhirnya hanya akan jadi puing-puing bangunan," paparnya.
Sengketa lahan ini telah berlangsung lama. Agustin mengungkapkan perjuangan dimulai sejak 2016, sementara Putusan Peninjauan Kembali (PK) baru dikeluarkan pada 17 April 2025. Putusan itu juga menjatuhkan dwangsom (uang paksa) sebesar Rp5 juta per hari keterlambatan.
"Sampai hari ini, denda tersebut sudah mencapai sekitar Rp1,65 miliar. Bayangkan, uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk membantu masyarakat," tandasnya.
Agustin juga menyayangkan sikap Pemkot yang dinilai kurang menghormati para ahli waris. Ia mengaku pertemuan dengan Wali Kota hanya berlangsung singkat, dua menit, dan akses komunikasi justru tertutup.
"Mereka lebih memilih bicara dengan oknum yang bukan ahli waris, bahkan cenderung bertransaksi di luar jalur hukum. Kami yang memiliki hak justru tidak diberi ruang bicara," keluhnya.
Ia berharap Komisi II DPRD Kota Bekasi dapat memfasilitasi penyelesaian yang bijaksana, transparan, dan tidak memberi ruang bagi kepentingan pribadi. Jika DPRD dinilai tidak mampu, ahli waris mengancam akan menggugat Pemkot Bekasi dan PT Kerta ke Pengadilan Niaga.
"Harapan kami, Wali Kota harus lebih peka terhadap aspirasi rakyat kecil dan tidak terus berurusan dengan pihak-pihak yang bukan ahli waris," pungkas Agustin.
Ia juga meluruskan bahwa luas lahan objek gugatan adalah 4.500 m², sementara Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pemkot tercatat 5.779 m². Dengan demikian, masih ada selisih sekitar 1.200 m² yang bukan bagian gugatan.
"Saya, Agustin, Juru Bicara Ahli Waris, hanya berharap pemerintah kota menjalankan putusan pengadilan dengan taat hukum dan penuh tanggung jawab," tutupnya. (Gud)
Ikuti Berita Terbaru di WhatsApp Channel