![]() |
Inisiator Gerakan Komunitas Garuda 8 Nuswantara, Heru Budi Wasesa, M.Si. (Han). |
Oleh: Heru Budi Wasesa, M.Si. (Han). (*)
DALAM upaya mencari solusi bagi permasalahan bangsa,
langkah pertama dan terpenting adalah menurunkan ego masing-masing. Salah satu
akar persoalan bangsa ini adalah adanya kesalahan kolektif. Artinya, kita tidak
bisa serta-merta menyalahkan pemerintah, anggota dewan, kepala daerah, atau
pejabat tanpa kecuali juga mengoreksi diri kita sendiri.
Saya akan memberikan contoh-contoh sederhana agar kita semua
dapat memahami persoalan ini dengan jelas.
Pertama, tentang Persatuan.
Presiden Prabowo menginginkan persatuan nasional. Landasan
untuk bersatu dan bisa duduk bersama adalah dengan mencari persamaan, bukan perbedaan.
Yang terjadi belakangan ini, kita justru sering kali mengedepankan perbedaan.
Jika landasan kita adalah perbedaan, maka persatuan mustahil terwujud. Kita
harus mawas diri. Tidak ada orang yang benar selamanya, atau salah selamanya.
Tidak ada yang suci mulia secara mutlak, dan tidak ada yang bejat abadi. Karena
itu, yang perlu kita perhatikan bukanlah siapa yang bicara, melainkan apa yang
dibicarakan.
Kedua, tentang Kesalahan Kolektif dalam Sistem.
Sebagai contoh, jika kita menganggap anggota dewan tidak
mumpuni dalam mengapresiasi atau mewakili kepentingan rakyat, mari kita
bertanya: Siapa yang menempatkan mereka di sana? Bukankah kita sendiri?
Meskipun ada yang berargumen, "Saya tidak memilih," atau "Ini
sudah sistemnya," pada hakikatnya, sistem itu adalah kesepakatan kita
bersama. Ketika para wakil rakyat itu kemudian bertindak kontraproduktif,
seperti memprovokasi masyarakat yang sudah hidup sulit, kita harus berkaca.
Kita memiliki peran dan andil untuk menempatkan mereka di kursi kekuasaan. Hal
yang sama berlaku untuk kepala daerah dan pemerintahan.
Ketiga, tentang Pemberantasan Korupsi.
Indonesia adalah negara yang spektakuler dalam
menyelenggarakan pemilu secara hampir bersamaan, mulai dari tingkat legislatif,
eksekutif, ratusan daerah, hingga presiden. Dalam konteks ini, praktik politik
uang (money politics) kerap terjadi. Bahkan Presiden sendiri pernah
berkelakar, menanyakan berapa dana yang dimiliki seorang calon gubernur. Ini
menunjukkan bahwa dalam kontestasi politik, uang dianggap perlu. Untuk apa uang
itu? Konon, terbanyak adalah untuk "membeli" suara pemilih. Coba
lihat, berapa banyak pemenang pemilu, terutama incumbent, yang kembali
terpilih? Dari mana dana politik mereka? Dan kita sebagai penerima
"iming-iming" tersebut, sering kali tidak peduli asal usulnya. Secara
tidak langsung, kita pun tidak keberatan dengan praktik yang bertentangan
dengan semangat pemberantasan korupsi.
Korupsi juga bukan sekadar persoalan uang. Korupsi bisa
berupa wewenang, jabatan, atau kesewenang-wenangan. Contoh paling sederhana
adalah korupsi waktu. Seorang pegawai negeri digaji oleh negara. Artinya, ada
ikatan kerja dari jam 08.00 hingga 17.00. Namun, hasil pengamatan di lapangan,
sering kali hingga pukul 13.30 masih banyak pegawai yang berkeliaran di luar
kantor, masih mengenakan seragam dinas atau tidak. Ada pula yang kantornya di
Jakarta Selatan, tetapi makan siangnya sampai ke Jakarta Utara. Bukankah ini
juga bentuk korupsi? Korupsi semacam ini sudah tersistem.
Tujuan dari menyadari bahwa ini adalah kesalahan kolektif
adalah agar kita tidak perlu lagi berkelahi, mencari kambing hitam, atau
terjebak dalam teori konspirasi murahan yang hanya ditujukan untuk menaikkan
popularitas. Rakyat Indonesia cerdas dan tidak mudah percaya pada teori yang
tidak menyelesaikan masalah, malah mengaburkan akar persoalan.
Mari kita rasakan ini dengan jernih. Ini adalah kesalahan
kita bersama. Tujuannya? Agar kita tidak lagi mencari perbedaan, tetapi duduk
bersama: legislatif, eksekutif, yudikatif, rakyat, pegawai, dan pengusaha. Kita
cari solusi bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Pemerintah harus tidak alergi
terhadap masukan, aparat harus mampu mengayomi, dan rakyat harus proaktif. Jika
salah, ini adalah kesalahan kolektif. Jika baik, maka menjadi kebaikan bersama.
Banyak di antara kita yang merasa diri paling benar.
Padahal, semua harus demi satu tujuan bersama. Jika ada perbedaan dalam tujuan,
maka tugas pemimpinlah untuk mempersatukannya dengan kemampuan dan
profesionalisme.
Ambil contoh Ibu Sri Mulyani dan Bapak Purbaya Yudhi Sadewa.
Izinkan saya mengilustrasikan secara sederhana: Sebuah rumah tangga dengan ibu
yang irit (bukan pelit) dan bapak yang royal (bukan boros). Jika kedua karakter
ini dipersandingkan dalam satu kesatuan, justru akan menciptakan rumah tangga
yang kuat. Namun, jika dipisah-pisah dan diadu domba, khawatirnya rumah tangga
itu hancur karena peran pihak ketiga.
Kita sering terkanalisasi oleh teori konspirasi murahan.
Teori ini selalu mencari kambing hitam, tidak pernah menyelesaikan masalah atau
memberikan solusi, bahkan mengaburkan akar masalah. Misalnya, dalam sebuah
peristiwa protes sosial baru-baru ini. Banyak yang berteori setelah kejadian,
menuduh si A dan si B. Tetapi, adakah yang membicarakan akar masalah sebelum
kejadian? Setiap peristiwa pasti ada "penunggang", baik untuk
kebaikan maupun kejahatan. Itu hal biasa.
Akar masalahnya sederhana: sebuah daerah yang kesulitan
dana, memutuskan menaikkan pajak di saat rakyat sedang berjuang secara ekonomi.
Ketika masyarakat protes, pemimpin daerah justru menantang. Tantangan ini
dijawab oleh masyarakat, dan diperparah dengan sikap (attitude) dan
"flexing" anggota dewan yang dipilih rakyat sendiri. Bersamaan
dengan itu, muncul isu tunjangan yang memicu provokasi. Akar masalahnya
bukanlah teori konspirasi rumit, tetapi kebijakan yang tidak empatik dan sikap
pejabat yang tidak menjaga tutur kata.
Alhamdulillah, pemerintah merespons dengan meninjau ulang
kebijakan terkait tunjangan dan tuntutan masyarakat. Ini harus menjadi
pelajaran berharga. Pesan paling sederhana dan penting bagi para pejabat
adalah: Jaga mulut kalian! Kami, rakyat, sedang berjuang. Jika Anda tidak bisa
menjaga ucapan, apakah Anda pantas berada di posisi itu? Ingat, fasilitas apa
pun yang Anda terima adalah hasil dari kerja keras rakyat.
Mari menjadi bangsa yang dewasa dengan mengakui kesalahan
kolektif dan bersama-sama membangun solusi untuk Indonesia yang lebih baik.
(*) Inisiator Gerakan Komunitas Garuda 8 Nuswantara
Ikuti Berita Terbaru di WhatsApp Channel