![]() |
Anggota DPRD Kota Bekasi dari Fraksi PKB, Wildan Fathurahman. |
Oleh: Wildan Fathurrahman (*)
PENDAHULUAN
Lebih dari tiga dekade, Kota Bekasi menjadi “penjaga kebersihan” ibu kota negara. Melalui TPST Bantargebang, sampah DKI Jakarta yang mencapai ±7.500 ton per hari ditimbun di atas lahan seluas 110,3 hektare. Akibatnya, sekitar 300 juta m³ sampah sudah menggunung setinggi gedung 16 lantai di kawasan ini.
Di balik itu semua, ada ratusan ribu warga Bantargebang yang menanggung dampak langsung: udara tak sehat, air tanah berisiko tercemar, hingga stigma sosial sebagai “kampung sampah”. Maka, menjelang perpanjangan kontrak kerjasama DKI Jakarta–Bekasi, kita tidak boleh sekadar membicarakan teknis administrasi. Ini menyangkut keadilan hukum, keberlanjutan lingkungan, dan masa depan sosial masyarakat Bekasi.
Hukum: Kontrak Harus Mengikat dan Transparan
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kerjasama antar daerah wajib memenuhi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Artinya, kontrak perpanjangan TPST Bantargebang bukan sekadar nota kesepahaman, tetapi harus menjadi dokumen hukum yang kuat dan mengikat.
DPRD Kota Bekasi wajib dilibatkan resmi dalam proses perundingan. Tanpa pengawasan legislatif, kontrak berisiko timpang, tidak transparan, bahkan bisa merugikan masyarakat yang seharusnya dilindungi.
Lingkungan: Ancaman Ekologis Nyata
Data menunjukkan, sampah yang masuk ke Bantargebang setiap hari setara 3 kali lipat Stadion GBK bila ditumpuk. Jika tidak ditangani dengan teknologi ramah lingkungan, ancaman ekologis bisa menjadi bencana:
- Gas metana dapat memicu kebakaran atau ledakan.
- Lindi (cairan sampah) berpotensi meresap ke air tanah.
- Kualitas udara menurun drastis dan memicu ISPA.
Karena itu, kompensasi tidak boleh berhenti pada angka rupiah, melainkan investasi pada teknologi:
- Waste to Energy (PLTSa) berbasis gas metana.
- Sistem pengendalian bau dengan biofilter.
- Reklamasi lahan menjadi hutan kota atau ruang terbuka hijau.
Sosial: Warga Bantargebang Harus Berdaya
Hidup berdampingan dengan gunungan sampah telah melahirkan problem sosial serius. Kasus ISPA, penyakit kulit, hingga gizi buruk lebih tinggi di kawasan ini dibanding rata-rata Kota Bekasi. Selain itu, stigma sosial membatasi ruang gerak anak-anak Bantargebang.
Kompensasi yang adil harus menyentuh langsung masyarakat:
- Layanan kesehatan gratis dan pembangunan RS tipe D di Bantargebang.
- Beasiswa penuh hingga perguruan tinggi untuk anak-anak warga ring 1.
- Pemberdayaan UMKM dan padat karya, agar masyarakat mendapat nilai ekonomi dari keberadaan TPST.
Dengan begitu, warga tidak lagi menjadi korban, tetapi bagian dari solusi.
Politik: Uji Keadilan Metropolitan
Jakarta tidak bisa bersih tanpa Bekasi. Sebaliknya, Bekasi tidak boleh diperlakukan hanya sebagai “tempat buangan”. Kerjasama ini adalah uji keadilan dalam tata kelola metropolitan Jabodetabek.
Bekasi harus tampil sebagai mitra strategis Jakarta, bukan sub-ordinatnya. Maka, kontrak baru harus menjamin:
- Kompensasi layak minimal Rp100.000 per ton sampah (±Rp270 miliar per tahun).
- Program lintas sektor (kesehatan, pendidikan, ekonomi, lingkungan) yang langsung dirasakan warga.
- Mekanisme evaluasi tahunan bersama Pemkot Bekasi, DPRD, dan perwakilan warga Bantargebang.
Rekomendasi untuk Pemerintah Kota Bekasi
Agar posisi tawar lebih kuat, saya merekomendasikan langkah konkret berikut:
- Bentuk Tim Negosiasi Khusus: terdiri dari Pemkot, DPRD, akademisi, ahli lingkungan, dan perwakilan masyarakat Bantargebang.
- Audit Lingkungan Independen: lakukan pemetaan dampak polusi udara, air, dan kesehatan masyarakat sebagai dasar ilmiah tuntutan kompensasi.
- Model Kompensasi Hybrid: gabungkan kompensasi uang dengan program nyata (kesehatan, pendidikan, ekonomi).
- Perkuat Regulasi Daerah: buat Perda khusus yang mengatur pemanfaatan kompensasi agar tepat sasaran dan transparan.
- Strategi Komunikasi Publik: tunjukkan bahwa Bekasi bukan menolak kerjasama, tetapi memperjuangkan hak warganya atas lingkungan hidup yang sehat (Pasal 28H UUD 1945).
Penutup
Warga Bantargebang adalah pahlawan lingkungan yang telah menjaga Jakarta tetap bersih. Kini saatnya mereka dihargai dengan kompensasi yang adil, program yang nyata, dan kebijakan yang berpihak.
Perpanjangan kontrak TPST Bantargebang bukan sekadar administrasi. Ia adalah momentum untuk menegakkan keadilan hukum, keadilan lingkungan, dan keadilan sosial.
Karena menjaga martabat Bantargebang, sama artinya menjaga martabat Kota Bekasi.
(*) Anggota DPRD Kota Bekasi dari Fraksi PKB
Ikuti Berita Terbaru di WhatsApp Channel