tRbFFwIJXCPvDkjdZ6hw7BrVzKSmv3z6tIDMFXHn
Bookmark

Kritik Wacana Hak Angket, Haidar Alwi Minta Jangan Korbankan Rakyat Demi Elit Politik

Rapat paripurna DPR RI.
PRAKATA.COM - R Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), mengkritik wacana hak angket yang diajukan oleh sejumlah partai politik. Menurutnya, hal ini berpotensi memicu kemarahan rakyat, terutama yang mendukung hasil Pemilu 2024.

Dia menyebutkan bahwa survei terkini dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan 83,6 persen rakyat merasa puas dengan penyelenggaraan pemilu dan 76,4 persen rakyat menganggap pemilu berjalan jurdil.

"Jadi, rakyat yang diwakili oleh hak angket itu hanya minoritas. Padahal partai-partai yang mengusulkan hak angket itu jumlah kursinya di DPR lebih banyak," ujar Alwi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (26/2/2024).

Dia mengatakan jika hak angket hanya mewakili minoritas rakyat yang tidak setuju dengan hasil pemilu, maka bisa menimbulkan protes yang lebih besar dari mayoritas rakyat yang setuju.

"Jangan sampai rakyat menjadi korban dari ambisi elit politik yang ingin berkuasa," tegasnya.

Selain itu, dia menilai hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu oleh DPR juga tidak tepat jika hanya ditujukan untuk mengusut dugaan kecurangan pilpres tanpa melibatkan pileg.

"Kalau hak angket dilaksanakan secara sepihak, hanya pilpres misalnya, maka motifnya semakin patut kita curigai," tuturnya.

Dia juga menilai bahwa pemilihan umum legislatif (pileg) memiliki potensi kecurangan yang lebih besar daripada pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres), karena proses penghitungan suara pileg biasanya dilakukan pada malam sampai dini hari setelah proses penghitungan suara pilpres.

Menurutnya tahapan penghitungan suara itu telah diatur dalam Pasal 52 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 yang mengatur urutan proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan mulai dari surat suara pilpres, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.

"Pada siang sampai sore hari ketika penghitungan suara pilpres dilakukan, masih banyak masyarakat yang ikut mengawasi, menyaksikan dan mendokumentasikan selain para saksi masing-masing calon, pengawas pemilu, aparat bahkan wartawan," paparnya.

Dia menilai pada malam sampai dini hari saat penghitungan suara pileg dilakukan, tps cenderung semakin sepi dan konsentrasi para pihak mulai menurun karena mengantuk dan kelelahan. Akibatnya hal tersebut menurutnya membuka celah yang lebih besar untuk terjadinya praktik kecurangan pemilu.

"Apalagi bila ada partai yang kekurangan saksi kemungkinan besar juga menjadi sasaran untuk dicurangi," imbuhnya

Salah satu bentuk kecurangan pileg yang sering terjadi menurutnya adalah pencurian atau jual beli suara, baik antar calon legislatif (caleg) maupun antar partai. Maka menurutnya tidak mengherankan bila di satu sisi ada pemberitaan mengenai caleg kehilangan perolehan suara, dan di sisi lain ada caleg lainnya yang secara mengejutkan mendapat perolehan suara yang fantastis.

"Apalagi dengan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan," pungkasnya.

Dia pun menyarankan jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, bisa melapor ke Bawaslu, Gakumdu, DKPP, dan Mahkamah Konstitusi. Karena menurutnya dugaan kecurangan pemilu seharusnya dibawa ke ranah hukum, bukan ditarik ke ranah politik.

Jika dipaksakan untuk ditarik ke ranah politik melalui hak angket di DPR, menurutnya pelaksanaannya harus dijalankan dalam kerangka representasi rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Zen)

Ikuti Berita Terbaru di Google News