![]() |
Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan, dan Profesi PC PMII Kota Bekasi, Deni Afrizal. |
Prakata.com - PC Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bekasi menyikapi pemberitaan terkait kebijakan pemerintah yang memasukkan anak sekolah ke dalam barak. Deni Afrizal, Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan, dan Profesi PC PMII Kota Bekasi, menyayangkan kebijakan nyeleneh oleh para pemangku kekuasaan yang marak terjadi belakangan ini.
Menurut Deni, pemerintah seharusnya melihat kondisi daerah secara komprehensif untuk memahami akar masalah tawuran pelajar. "Ini bukan sekadar keinginan mereka, melainkan akibat berbagai faktor, salah satunya ketiadaan saluran untuk mengoptimalkan potensi mereka," ujarnya.
Deni mengajak semua pihak untuk merenungkan, "Bisa jadi di antara para siswa ini ada calon ahli kimia, astronom, atau atlet berbakat. Namun, mereka terhambat oleh dua hal: sistem yang tidak mendukung dan pengaruh lingkungan."
Kemiskinan dan Sistem Pendidikan yang Mahal
Deni menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "sistem" adalah tingginya biaya pendidikan yang membatasi akses pelajar dari keluarga kurang mampu. "Sistem ini mahal. Mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk pelatihan, les, atau kegiatan pengembangan diri di luar sekolah. Karena keterbatasan ekonomi, banyak yang akhirnya merasa rendah diri dan enggan berpartisipasi. Pertanyaannya, apakah negara hadir untuk menjawab masalah ini? Tampaknya masih diragukan," tegasnya.
Lingkungan yang Tidak Mendukung
Faktor lain, menurut Deni, adalah lingkungan yang tidak kondusif. "Lingkungan negatif membuat pelajar lalai akan kewajibannya. Solusinya, ciptakan lingkungan yang positif dengan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, memberdayakan komunitas, dan mengaktifkan kegiatan konstruktif. Dengan begitu, ruang untuk hal-hal negatif akan menyempit," paparnya.
Kritik terhadap Kebijakan "Militerisasi" Pelajar
Deni juga menilai kebijakan memasukkan pelajar ke barak militer sebagai langkah yang tidak tepat. "Jika mengacu pada negara seperti Korea atau Singapura, wajib militer diberlakukan untuk usia minimal 18 tahun, setelah mereka melewati masa pendidikan remaja. Kalau pelajar Indonesia yang masih harus belajar dipaksa masuk barak, justru akan menghambat potensi mereka, memunculkan stigma, dan tidak menciptakan generasi ulul albab (manusia berakal dan berbudi). Ini kebijakan yang ngawur," tegasnya.
Menuju Indonesia Emas 2045
Di akhir pernyataan, Deni menegaskan, "Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan memanfaatkan bonus demografi, pemerintah harus membuat kebijakan yang adil, setara, dan berorientasi pada peningkatan kualitas SDM. Itu tidak akan tercapai jika kita mendidik anak dengan pendekatan militeristik dan mengabaikan pengembangan kecerdasan serta karakter ulul albab," tutupnya. (Gud)