Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Deden Mauli Darajat. |
Prakata.com - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Deden Mauli Darajat mengatakan bahwa pada Pilkada Serentak 2024 penggunaan politik identitas mengalami penurunan dan ini merupakan bukti pendewasaan politik di Indonesia sudah terjadi.
"Saat ini, demokrasi kita juga sudah lebih
inklusif," kata Deden di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Menurut dia, pada Pilkada Derentak 2024 telah berjalan
dengan lancar, tertib, aman, dan damai. Meski dinamika sebelum pencoblosan
tetap riuh dengan kampanye masing-masing pasangan calon (paslon), namun
penggunaan politik identitas relatif menurun.
Kondisi itu kata dia, berbanding terbalik dengan perhelatan
pilkada sebelumnya, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017, yang penuh dengan politik
identitas.
Pakar Ilmu Komunikasi ini menilai pelaksanaan Pilkada 2024
seperti halnya pilpres awal tahun 2024 ini, belum bisa sepenuhnya lepas dengan
propaganda dan mobilisasi massa yang didasarkan pada politik identitas yang
cenderung negatif, seperti penggunaan atribut dan istilah agama tertentu.
"Walaupun demikian penggunaan sentimen agama tidak
terlalu kuat pada pilkada kali ini, berbeda dengan beberapa perhelatan pilkada
sebelumnya," ujarnya.
Ia juga menyoroti adanya pergeseran substansi narasi yang
digunakan pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Jika pada beberapa pemilu
sebelumnya begitu kencang embusan politik identitas, sekarang isunya bergeser
menjadi oligarki dan dinasti politik.
Ia menilai, menurunnya penggunaan narasi identitas politik
dalam penyelenggaraan pilkada adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi
Indonesia, mengingat cara yang sama masih laku keras di belahan dunia lainnya,
bahkan di negara maju sekalipun.
"Dalam konteks demokrasi di Indonesia yang sudah
dilewati kurang lebih 26 tahun jika dihitung dari masa reformasi, yang berarti
proses demokrasi kita bisa dikatakan sudah cukup matang," ucapnya.
Ia menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah lebih
inklusif, namun dengan adanya media sosial dan digitalisasi informasi, setiap
orang bisa bersuara melalui akunnya masing-masing. Ini yang perlu ditata ulang.
Penataan yang dimaksud, jelasnya, bukanlah dimaksudkan untuk
menghilangkan hak dan kebebasan berpendapat, melainkan untuk mengatur adanya
kewajiban yang harus dipatuhi dalam berpendapat di ruang publik.
Selain itu, menurut Deden, kejelasan regulasi diperlukan
untuk mengurangi potensi tersebarnya hate speech, hoaks, dan black
campaign. Semua itu harus diturunkan karena berpotensi memecah persatuan
bangsa demi kepentingan segelintir orang.
"Di sinilah letak urgensi peraturan yang mengatur kebebasan berpendapat. Dalam upaya ini, Pemerintah perlu didukung berbagai pihak, khususnya public figure atau bahkan influencer yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat," katanya. (zen/ant)
Ikuti Berita Terbaru di Google News & WA Channel