![]() |
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono. |
“Patut dicatat bahwa berdasarkan studi yang ada, kelembagaan yang baik
akan mendorong proses kebijakan yang inklusif dan mendukung kemajuan ekonomi.
Kelembagaan yang baik juga harus didukung oleh pembuat kebijakan yang kompeten
dan berintegritas," kata Arfianto dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/10/2024).
Berdasarkan kabar yang beredar, nantinya terdapat 46 kementerian/lembaga di
bawah pemerintahan Presiden kedelapan Republik Indonesia.
"Sebaliknya, jika kelembagaan lemah dan eksklusif, pembuat kebijakan akan
gagal dalam melihat, memetakan, dan merumuskan masalah. Hal ini kemudian akan
berdampak dalam formulasi kebijakan dan permasalahan dalam menemukan hal
krusial yang menjadi isu atau masalah publik,” sambungnya.
Dia menilai pemerintahan Prabowo-Gibran harus mengedepankan perumusan kebijakan
dengan menggunakan pendekatan kebijakan berbasis bukti dan riset.
Hal ini bertujuan agar perumusan kebijakan dapat menghasilkan kebijakan yang
berkualitas dan aplikatif, serta relevan dengan kebutuhan publik.
Menurutnya, ketiadaan data dan informasi yang valid maupun pengabaian data dan
informasi kerap kali menjadi persoalan dalam proses pembuatan kebijakan.
Akibatnya, kebijakan yang dilakukan pemerintah seringkali menuai kontroversi,
seperti terkait pembiayaan program; target kebijakan; data terkini; output dan
outcome kebijakan, dan lain sebagainya.
Kondisi ini juga disebabkan karena sengkarutnya pengelolaan data selama ini di
Indonesia. Bahkan, data yang dimiliki oleh pemerintah tumpang tindih antara
satu instansi kementerian dengan kementerian lainnya.
Padahal, pemerintah sudah memiliki aturan soal Satu Data Indonesia dan bahkan
Indonesia merupakan salah satu inisiator dari Open Government Partnership.
Lebih lanjut, Arfianto menjelaskan bahwa dalam merumuskan kebijakan,
pemerintahan Prabowo-Gibran juga harus mengedepankan partisipasi publik yang
lebih bermakna.
Hal ini penting mengingat kerap kali partisipasi publik dalam perumusan
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
hanya bersifat formalitas belaka.
Tak heran jika proses yang sedemikian juga mengundang kritik dan pertentangan
dari publik karena proses kebijakan dibuat secara eksklusif dan tidak
menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
“Proses perumusan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR seharusnya
dapat memberikan ruang bagi publik (termasuk yang diwakili oleh kelompok
masyarakat sipil) untuk mendapatkan informasi maupun data yang terbuka. Selain
itu, proses kebijakan juga perlu memberikan ruang yang lebih luas dan inklusif,
serta bermakna dan partisipatif bagi masyarakat sipil untuk memberikan saran
hingga dipertimbangkan untuk diakomodasi dalam kebijakan,” jelas Arfianto.
Untuk itu, menurut dia, penting mendorong pemerintahan Prabowo-Gibran
dapat memprioritaskan program peningkatan manajemen data dan informasi sebagai
bagian dari pendekatan kebijakan berbasis bukti melalui riset.
Kerja sama dan kolaborasi pemerintah dengan para pemangku kepentingan lainnya,
termasuk lembaga penelitian kebijakan publik dan kelompok masyarakat sipil,
juga harus didorong untuk memastikan proses kebijakan yang inklusif.