Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif, Deddy Sitorus (tengah) saat memberikan keterangan kepada awak media. |
"Soal putusan MK harus dilihat sebagai kemenangan melawan oligarki partai
politik yang hendak membajak demokrasi dan kedaulatan rakyat dengan strategi
kotak kosong," kata Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Selasa
(20/8/2024).
MK memutuskan syarat mengusung paslon di Pilkada tidak lagi menggunakan kursi
di DPRD.
Kendati demikian, berdasarkan ambang batas perolehan suara sah partai
politik/gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih
Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu;
10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen.
"Putusan ini harus dipandang positif sebab memastikan hadirnya lebih dari
1 pasang calon dalam pilkada dan provinsi. Semakin banyak calon tentu makin
banyak pilihan calon pemimpin yang bisa dipertimbangkan oleh rakyat,"
ujarnya.
Menurutnya, putusan ini kemenangan bagi rakyat dan kekalahan bagi partai
politik oligarki yang antidemokrasi. Dengan putusan MK ini, sambung Deddy, maka
politik mahar dalam pilkada provinsi dan kabupaten/kota bisa ditekan seminimal
mungkin. Hal ini membuat partai politik dipaksa untuk mengusung orang-orang
terbaik sebagai calon kepala daerah.
"Putusan ini juga memberi kesempatan bagi partai-partai non-parlemen untuk
ikut berpartisipasi dalam pilkada. Dengan demikian tidak ada suara rakyat yang
hilang. Bagi partai-partai yang ada di Parlemen tentu ini akan mendorong proses
kaderisasi dan rekrutmen calon yang lebih baik," pungkas Deddy.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah
ambang batas (threshold) pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala
daerah.
Lewat putusan ini, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di
DPRD bisa mencalonkan pasangan calon. Penghitungan syarat untuk mengusulkan
pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah
yang bersangkutan.
“Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua
MK Suhartoyo membacakan amar putusan untuk perkara yang diajukan Partai Buruh
dan Partai Gelora itu di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Dalam perkara ini, Partai Buruh diwakili Said Iqbal selaku Presiden dan Ferri
Nurzali selaku Sekretaris Jenderal. Sementara itu, Partai Gelora diwakili
Muhammad Anis Matta selaku Ketua Umum dan Mahfuz Sidik selaku Sekretaris
Jenderal.
Pada perkara ini, Partai Buruh dan Partai Gelora mempersoalkan konstitusionalitas
Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Dalam
pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada
tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NRI) Tahun 1945.
“Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang
demokratis tersebut salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai
politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan
bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam
bakal calon, sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal, yang
jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus
menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,” kata Hakim Konstitusi
Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum.
Karena keberadaan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada merupakan tindak lanjut dari
Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, maka MK menyatakan harus juga menilai
konstitusionalitas yang utuh terhadap Pasal 40 ayat (1) tersebut.
MK mempertimbangkan, pengaturan ambang batas perolehan suara sah partai politik
atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah
tidak rasional jika syarat pengusulannya lebih besar dari pada pengusulan
pasangan calon melalui jalur perseorangan.
“Oleh karena itu, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan
dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan
persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Ayat (1) UU 10/2016 sama artinya
dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua
partai politik peserta pemilu,” kata Enny.